Selasa, 13 November 2012

Materi Perubahan Sosial (Tugas 6)

MATERI PERUBAHAN SOSIAL 

Perubahan Sosial

SKL 6
Menjelaskan proses perubahan sosial pada masyarakat dan dampaknya
Materi:
• Teori perubahan
• Bentuk perubahan
• Faktor pendorong dan penghambat perubahan
• Dampak modernisasi dan globalisasi
• Mengatasi memudarnya jati diri bangsa

Ringkasan

A. PERUBAHAN SOSIAL
1. Definisi Perubahan
Menurut Auguste Comte, sosiologi mempelajari statika dan dinamika masyarakat social meskipun perubahan kita terpusat pada aspek statika masyarakat, tetapi dalam kehidupan sehari – hari kita telah menyentuh perubahan.
Adapun definisi perubahan sosial menurut beberapa tokoh:
1. William F. Ogburn
Ruang lingkup perubahan sosial mencakup unsur kebudayaan material dan non material, terutama menekankan pengaruh yang besar dari unsur kebudayaan material terhadap unsur non material
2. Mac Iver
Perubahan sosial adalah terjadinya perubahan dalam hubungan sosial (social relationships) atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium)
3. Kingsley Davis
Perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat
4. Gillin dan Gillin
Perubahan sosial merupakan variasi cara hidup yang telah diterima yang disebabkan karena kondisi geografis, kebudayaan, material, komposisi penduduk, ideology maupun adanya difusi ataupun penemuan baru dalam masyarakat
5. Samuel Koenig
Perubahan sosial menunjuk pada modifikasi yang terjadi dalam pola kehidupan manusia karena sebab intern dan ekstern
6. Selo Soemarjan
Segala perubahan pada lembaga – lemabaga kemasyrakatan dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai – nilai, sikap – sikap dan pola – pola perikelakuan diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat

2. Teori – Teori Perubahan Sosial

Menurut Lauer ada dua teori utama perubahan sosial:

a. Teori Siklus

Teori siklus melihat perubahan merupakan sesuatu yang berulang – ulang, tidak dapat direncanakan atau diarahkan ke titik tertentu. Tidak ada proses perubahan masyarakat secara bertahap sehingga batas antara pola hidup primitif, tradisional dan modern tidak jelas

Kamis, 01 November 2012

Pemulung Sukses di Dunia dan di Akhirat (Insyaallah)

Jakarta - Rumah ukuran 5x4 m yang berlapis triplek di kawasan Tebet Barat itu terlihat sangat sederhana. Barang rongsokan dan sampah berserakan menghiasi tanah di sekitaran rumah tersebut. Di sinilah Mak Yati (65) menjalani hidupnya selama setahun ini.

detikcom berkesempatan untuk mengunjungi rumah Mak Yati di kawasan Tebet Barat, Jakarta, Jumat (26/10/2012). Di rumahnya, mengenakan pakaian seadanya berupa kaos berwarna hitam dan celana pendek lusuh, Mak Yati yang didampingi suaminya Pak Maman menyambut dengan ramah.

"Yah, disinilah Mak hidup setahun ini nak. dulu masih sering pindah-pindah. Namanya juga pemulung, hidup di tanah orang, kadang diusir pindah ke sini. Terus diusir lagi, pindah lagi. Alhamdulillah, udah setahunan ini Mak tinggal di daerah sin," ujar Mak Yati memulai obrolan.

Mak Yati mengaku sudah menjadi pemulung sejak tahun 1965 hingga hari ini. Wanita asal Madura ini mengadu nasib ke Jakarta karena terpaan hidup yang bertubi-tubi di kampungnya sehingga ia nekat datang ke Jakarta walau tanpa bekal yang cukup.

"Mak udah lama mulung, sejak tahun 1965. Ya, dihitung saja sudah berapa lama Mak kayak gini. Tapi Alhamdulillah nak, sampai sekarang Mak masih kuat kerja, ini berkat pertolongan Allah SWT juga," ujar Mak Yati.

Niat untuk berkorban sudah terbersit di benak Mak Yati sejak tiga tahun yang lalu. Niat itu bermula ketika dia mengambil jatah sembako di sebuah kelurahan. Saat itu tiba-tiba muncul sebuah niat di dalam hati Mak Yati untuk bersedekah pada hari raya kurban.

"Sudah lama Mak pengen kurban Nak. Sejak tiga tahun yang lalu. Tapi kan mak ini kerjaannya cuma mulung, jadi penghasilan nggak jelas. Buat makan sehari saja kadang udah sukur. Jadi Mak ngumpulin dulu duit Rp 1.000, Rp 1.500 sampai tiga tahun, lalu Mak beliin kambing dua ekor. Sampai-sampai penjual kambingnya Mak cegat di tengah jalan saking Mak pengen beli kambing," tutur Mak Yati sambil tertawa.

"Tapi Alhamdulillah Nak, tahun ini niat Mak kesampaian. Mungkin sudah izin dari Allah juga tahun ini Mak bisa nyumbang kambing ke masjid. Jadi penghasilan dari Mak mulung ada faedahnya. Istilahnya bersihin harta, gitu-gitu," imbuhnya kembali diselingi tawa.

Mak Yati mengejutkan pengurus Masjid Al Ittihad, Tebet, Jumat (26/10) kemarin karena membawa dua kambing untuk dikurbankan di masjid itu. Hal itu membuat terharu pengurus masjid yang tahu keseharian Mak Yati sebagai pemulung.

"Kita nggak nyangka Mak Yati bawa kambing malam itu, ya kita terharu lah. Orang sehari-hari dia cuma mulung, tapi punya niat untuk menyumbangkan hewan kurban untuk lebaran ini," kata pengurus masjid bernama Syaiful.

IRONI ITU BERNAMA KEMISKINAN (Tugas 5)


 satu realitas sosial yang terjadi di negeri kita hari ini adalah soal kemiskinan. Berapa jumlah penduduk miskin di Indonesia saat ini? Jawabnya sangat tergantung dari standar yang digunakan. Jika kita mengacu pada standar Badan Pusat Statistik (BPS), data bulan Maret 2011 menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin ‘hanya’ sebesar 30,02 juta orang (12,49 persen) dari jumlah penduduk sebesar 237 juta jiwa.
Penduduk miskin menurut BPS adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan (GK). Jika dirupiahkan, nominal pengeluaran penduduk miskin adalah sebesar Rp.233.740,- per bulan atau setara dengan Rp.7.800,- per hari.
Sementara itu, jika menggunakan standar Bank Dunia, maka angka kemiskinan kita akan melonjak tajam. Standar kemiskinan menurut Bank Dunia adalah US $ 2 setara Rp.17.000,- per hari atau Rp.510.000,- per bulan untuk kategori miskin dan US $ 1 setara Rp.8.500,- per hari atau Rp.255.000,- per bulan untuk kategori sangat miskin.
Oleh karena itu, menurut versi Bank Dunia, 60 persen penduduk Indonesia- berada dalam kemiskinan relatif dan sedikitnya 10 persen berada dalam kemiskinan absolut. Posisi ini membuat Indonesia berada di zona merah dan levelnya sama dengan negara Afrika, Yaman, Pakistan, Mongolia, Vietnam, dan Philipina
Jika dikaitkan dengan posisi dan potensi Indonesia, maka kemiskinan yang terjadi saat ini adalah sebuah ‘ironi’.
Siapapun tahu- bahwa di negeri zamrud khatulistiwa ini, terkandung kekayaan alam yang sangat luar biasa. Indonesia adalah negara kaya dan tidak layak untuk disebut miskin.
Pertanyaanya adalah- mengapa bangsa kaya raya ini bisa terjerembab ke lubang kemiskinan selama bertahun-tahun. Apa yang salah dengan dengan bangsa kita ini? Barangkali ungkapan seorang pakar manajemen modern, Peter Drucker berikut menjadi representasi dari kondisi itu: ‘there’s no actually under-developed country, only under-managed one’ (sejatinya tidak ada negara terbelakang/miskin, yang ada hanyalah- tata kelola yang tidak baik). Persoalan kepemimpinan (leadership) dan manajemen pengelolaan negara- diyakini menjadi salah satu penyebab timbulnya disparitas antara potensi bangsa dengan realitas sosial di lapangan
Berikut ini adalah ‘sedikit’ potret mis-manajemen dalam pengelolaan potensi/kekayaan bangsa kita- yang pada akhirnya hanya mendatangkan keuntungan bagi ‘negara lain’. Di bumi papua misalnya, semua orang tahu tentang gunung emas yang ‘digadaikan’ kepada pihak asing (baca Freeport). Dalam harian kompas, 14 November 2011, Harry Tjan Silalahi, mengemukakan bahwa kontrak dengan Freeport ditandatangani tahun 1967- menyusul adanya konvensi Geneva bulan November 1967. Dari kontrak tersebut, Freeport McMoran menguasai 90,64 persen saham, sedangkan pemerintah Indonesia 9,36 persen. Adapun royalti dari Freeport untuk Indonesia hanya sebesar 1 persen untuk emas dan perak dan 1-3,5 persen untuk tembaga.
Sementara itu, mantan menteri perekonomian, Kwik Kian Gie melakukan kalkulasi sebagai berikut: selama 43 tahun, Freeport memperoleh 7,3 ton tembaga dan 724,7 juta ton emas. Jika diambil emas saja, lalu dinilai dengan harga sekarang, yakni Rp500.000 per gram, nilainya setahun 724.700.000 gram x Rp500.000 atau Rp 362.350 triliun. Setiap tahun, Rp.362.350 triliun dibagi 43 atau Rp.8.426,7442 triliun. Dibulatkan menjadi Rp.8.000 triliun (bandingkan dengan nominal APBN tahun ini yang hanya Rp.1.202 triliun).
Dari angka tersebut, Indonesia mendapat bagian 1 persen atau Rp.80 triliun setahun. Sementara yang tercantum di APBN 2011 dalam pos ”pemasukan SDA non-migas”, hanya Rp.13,8 triliun saja (Kompas, 17 November 2011).
Angka yang cukup fantantis itu, baru berasal dari 1-2 jenis mineral saja di papua. Belum lagi dari minyak dan gas serta kekayaan alam lainnya di seluruh wilayah republik ini. Dari laut misalnya, menurut Pendiri Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Rokhmin Dahuri- yang juga mantan menteri kelautan dan perikanan RI, potensi ekonomi kelautan Indonesia bisa mencapai USD800 miliar atau sekitar Rp7.600 triliun dari 11 subsektor kelautan. Menurut Rokhmin, angka estimasi potensi ekonomi maritim tersebut bisa mendatangkan kesempatan kerja mencapai 30 juta orang.
Artinya, para TKI yang selama ini mengais rezeki negara lain, bisa dipulangkan dan bekerja di negeri sendiri dengan nyaman, tanpa harus ketakutan di usir dan diperlakukan semena-mena oleh majikannya disana
Tidak bisa dinafikkan bahwa kondisi kemiskinan yang menimpa bangsa kita- tidak lepas dari pilihan yang diambil pemerintah dalam mengatur soal perekonomiannya. Lebih suka menyerahkan pengelolaan aset-aset penting dan sumber daya alam kepada pihak swasta (baik asing maupun domestik), sementara pemerintah hanya mengambil pajak sebagai aspek pendapatan, adalah ciri-ciri sistem ekonomi kapitalisme. Dengan model ini, kekayaan alam bangsa Indonesia yang luar biasa- kemudian hanya menjadi ‘ajang pesta’ bagi para pemilik modal dan rakyat hanya bisa mengelus dada. Dampak negatif dari sistem ekonomi kapitalisme ini adalah munculnya pengangguran, kemiskinan, krisis ekonomi, dan utang luar negeri yang tinggi. Kapitalisme membuat gap antara penduduk kaya dan miskin semakin lebar- karena hanya segelintir orang yang menguasai dan menikmati sumber daya alam. Vilfredo Pareto, seorang ekonom Italia melakukan riset distribusi kekayaan di berbagai negara dan hasil risetnya menyimpulkan bahwa 80 persen uang di dunia hanya dikuasai 20 persen orang. Prinsip Pareto atau aturan 80/20 telah menjelaskan fenomena- dimana mayoritas ‘hasil’ ternyata berasal dari minoritas ‘sebab’. Saat ini, perlahan tapi pasti, kapitalisme mulai menunjukkan tanda-tanda keruntuhannya.
Terjadinya krisis ekonomi di Yunani, Italia, serta di AS dengan gerakan anti-Wall Street-nya, adalah contoh betapa kapitalisme tidak memiliki imunitas terhadap goncangan ekonomi. Kapitalisme terbukti gagal dalam mewujudkan ‘kesejahteraan’ dan ‘kemakmuran’ bagi negara-negara yang selama setia menganut sistem-nya
Agar kondisi kemiskinan bangsa kita tidak terus memburuk, diperlukan langkah-langkah yang berani dari para pengambil kebijakan di negeri ini, utamanya dari pemimpin bangsa. Kapitalisme sangat bertentangan dengan konstitusi bangsa, khususnya pasal 33 ayat 3 UUD 1945, dimana secara jelas termaktub bahwa: ‘Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’
Perubahan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh ‘karakter’ pemimpin bangsa itu. Kedepan, kita rindu sosok pemimpin bangsa yang punya semangat dan jiwa nasionalisme yang tinggi- sehingga dengan itu, ia berani berdiri tegak dan bicara lantang, termasuk kepada negara yang selama ‘mendikte’ kita. Sumber daya alam kita yang melimpah harus di-nasionalisasi- agar dapat memberikan manfaat bagi rakyat Indonesia. Tidak banyak memang, pemimpin bangsa yang punya ‘nyali’ seperti itu. Diantara yang sedikit itu, terdapat nama-nama- seperti: Recep Tayyip Erdogan (PM Turki), Evo Morales (Presiden Bolivia), Hugo Chavez (Presiden Venezuela), dan Mahmoud Ahmadinejad (Presiden Iran). Mereka adalah contoh pemimpin yang berani melawan kapitalisme- yang selama ini telah membuat miskin rakyatnya. Kemiskinan yang terjadi ditengah negara kaya, seperti Indonesia adalah sebuah ‘ironi’, persis seperti kata pepatah: ‘tikus mati di lumbung padi’. Wallahu a’lam bish shawab (*)
Penulis adalah Anggota DPRD Kota Jambi
Sumber: Jambiekspres.co.id

Gambar Realitas Sosial (Tugas 4)

Add caption
Gambar disamping sering kali kita lihat di pinggir - pinggir kota besar, bahkan di kota - kota kecil seperti di kota kita juga banyak terlihat hal yang seperti gambar disamping. Orang - orang "besar" disana berlomba meraup uang yang bukan haknya dan dimakan oleh dirinya sendiri. Sedangkan anak yang seharusnya belajar, bekerja keras  mencari uang karena faktor kemiskinan untuk sesuap nasi untuknya dan kedua orang tuanya.