Sabtu, 06 Oktober 2012

BUDAYA BARAT MELEMAHKAN KARAKTER PANCASILA PEMUDA INDONESIA

Benang merah dari situasi pelik yang sedang dihadapi oleh dunia global saat ini adalah keterlibatan bangsa Barat, Amerika dan sekutunya, dalam mencampuri urusan rumah tangga negara lain. Mereka mengintervensi Pemerintahan yang sedang berkuasa di dunia dengan tafsir dan persepsi mereka tentang tata kelola dan kepemimpinan. Mewujudkan tata dunia baru, demikian semboyan yang mereka dengung-dengungkan dalam melancarkan aksinya.
Sejarah peradaban manusia mengajarkan kepada kita bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan secara unik. Mereka berbeda-beda alias tidak ada yang sama. Dan karena kebesaran Tuhan-lah maka dari kamajemukan karakter tersebut dikelompokkan menjadi rumpun dan ras yang dipisahkan secara geografis. Setiap bangsa di dunia melahirkan kebudayaan dengan ciri khusus dan kekayaan nilai-nilai kearifan lokal.
Bagaimana dengan karakter bangsa kita, bangsa Indonesia? Indonesia secara jelas telah memiliki jati diri dalam mengelola tata pemerintahan dan masyarakat. Uruslah negara kita sesuai jati diri kita, yakni Pancasila. Negara-negara Barat menggunakan dan mengoptimalkan pepatah “rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau” untuk melemahkan karakter Pancasila yang diusung oleh nenek moyang bangsa kita.
Dan celakanya, mereka berhasil menanamkan budaya asing di Indonesia dengan nyaris sempurna. Saat ini generasi muda Indonesia lebih suka menanam rumput tetangga daripada rumput di rumah sendiri. Mereka membangga-banggakan kebiasaan yang dilakukan bangsa Barat sebagai karakter baru yang menyisihkan nilai-nilai luhur Pancasila.
Pancasila Sebagai Karakter dan Identitas Bangsa
Apakah ‘rumput tetangga’ yang ditanam oleh Barat sesuai dengan Indonesia? Dari alam semesta dapat kita petik banyak pelajaran kehidupan. Beberapa contoh seperti tumbuh-tumbuhan yang terbagi dalam jutaan spesies. Masing-masing tanaman memiliki kecocokan tersendiri agar dapat tumbuh di iklim dan dataran yang berbeda-beda. Begitu pula dengan hewan dan manusia. Semuanya memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Sebagai bangsa Indonesia, kita memiliki identitas sebagai bangsa Timur yang hidup dengan peradaban yang mengutamakan tata krama, moral dan alamiah. Sedangkan bangsa Barat terbiasa dengan kepraktisan, keliaran, dan ilmiah. Sudah Jelas, bahwa Indonesia adalah bagian dari peradaban Timur dengan dijiwai karakter Pancasila. Apakah Anda hendak menyangkal fakta ini?
Agar Pancasila dapat benar-benar menjadi pandangan hidup bangsa dan dasar negara, maka perlu adanya kebulatan tekad dari setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara, dan setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah, untuk mempunyai loyalitas tunggal terhadap Pancasila itu sendiri.
Menyamarkan Budaya Barat Menjadi Modernisasi
Memang sudah selayaknya Pancasila harus diletakkan pada kehidupan bangsa Indonesia secara mengikat dan memaksa (imperatif) seperti yang dilakukan oleh mendiang Pak Harto. Tidakkah Anda semua merasa aneh, Pak Harto yang mengusung, mengawal, dan meletakkan Pancasila pada segala sendi kehidupan bangsa Indonesia, dianggap diktator? Sedangkan Amerika dan kawan-kawan yang mengusung, mengawal, dan memaksakan liberalisme kepada seluruh dunia dianggap sebagai pahlawan?
Disinilah bukti kelihaian bangsa Barat dalam memperdayai dunia dengan cara menyamarkan kata “KELIARAN” menjadi “KEBEBASAN” atau “KUDETA” menjadi “PERUBAHAN”. Seperti telah saya tulis dalam artikel sebelumnya, semuanya tidak ada hal yang kebetulan di dunia ini. Yang ada adalah makna-makna yang belum berhasil dinamakan oleh manusia. Sesungguhnya, alam semesta ini adalah sebuah wadah dengan sistim ‘automatic adjustment, namun selama ini telah ditunggangi dan dimanipulasi oleh pemaksaan konsep tunggal yang bertujuan memperjuangkan kepentingan politik kelompok tertentu.
Amerika dan negara-negara Barat sejak era penjelajahan samudera telah berusaha menancapkan pengaruh mereka terhadap negara-negara di dunia, termasuk tanah air kita Indonesia. Setelah para pejuang bangsa memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, apakah Anda bersedia negeri ini dijajah bangsa Barat untuk kedua kalinya? Tentu kita tidak mengharapkan hal tersebut terjadi.
Telah menjadi tugas yang tidak mudah untuk menyelamatkan budaya Pancasila ditengah gempuran budaya Barat saat ini. Langkah paling nyata dapat kita mulai dari lingkungan keluarga. Mari bentengi anak-anak kita untuk selalu bertingkah laku dan berpegang teguh pada nilai-nilai moral Indonesia. Berpikir modern tidak serta merta meninggalkan budaya bangsa sediri. Generasi muda yang cerdas dan berakhlak mulia merupakan jaminan kemajuan suatu bangsa. (RAP/07/12)

KEBUDAYAAN BARAT DI INDONESIA


Proses akulturasi di Indonesia tampaknya beralir secara simpang siur, dipercepat oleh usul-usul radikal, dihambat oleh aliran kolot, tersesat dalam ideologi-ideologi, tetapi pada dasarnya dilihat arah induk yang lurus: ”the things of humanity all humanity enjoys”. Terdapatlah arus pokok yang dengan spontan menerima unsur-unsur kebudayaan internasional yang jelas menguntungkan secara positif.
Akan tetapi pada refleksi dan dalam usaha merumuskannya kerap kali timbul reaksi, karena kategori berpikir belum mendamaikan diri dengan suasana baru atau penataran asing. Taraf-taraf akulturasi dengan kebudayaan Barat pada permulaan masih dapat diperbedakan, kemudian menjadi overlapping satu kepada yang lain sampai pluralitas, taraf, tingkat dan aliran timbul yang serentak. Kebudayaan Barat mempengaruhi masyarakat Indonesia, lapis demi lapis, makin lama makin luas lagi dalam (Bakker; 1984).
Apakah kebudayaan Barat modern semua buruk dan akan mengerogoti Kebudayaan Nasional yang kita gagas? Oleh karena itu, kita perlu merumuskan definisi yang jelas tentang Kebudayaan Barat Modern. Frans Magnis Suseno dalam bukunya ”Filsafat Kebudayan Politik”, membedakan tiga macam Kebudayaan Barat Modern:
a. Kebudayaan Teknologi Modern
Pertama kita harus membedakan antara Kebudayan Barat Modern dan Kebudayaan Teknologis Modern. Kebudayaan Teknologis Modern merupakan anak Kebudayaan Barat. Akan tetapi, meskipun Kebudayaan Teknologis Modern jelas sekali ikut menentukan wujud Kebudayaan Barat, anak itu sudah menjadi dewasa dan sekarang memperoleh semakin banyak masukan non-Barat, misalnya dari Jepang.
Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan sesuatu yang kompleks. Penyataan-penyataan simplistik, begitu pula penilaian-penilaian hitam putih hanya akan menunjukkan kekurangcanggihan pikiran. Kebudayaan itu kelihatan bukan hanya dalam sains dan teknologi, melainkan dalam kedudukan dominan yang diambil oleh hasil-hasil sains dan teknologi dalam hidup masyarakat: media komunikasi, sarana mobilitas fisik dan angkutan, segala macam peralatan rumah tangga serta persenjataan modern. Hampir semua produk kebutuhan hidup sehari-hari sudah melibatkan teknologi modern dalam pembuatannya.
Kebudayaan Teknologis Modern itu kontradiktif. Dalam arti tertentu dia bebas nilai, netral. Bisa dipakai atau tidak. Pemakaiannya tidak mempunyai implikasi ideologis atau keagamaan. Seorang Sekularis dan Ateis, Kristen Liberal, Budhis, Islam Modernis atau Islam Fundamentalis, bahkan segala macam aliran New Age dan para normal dapat dan mau memakainya, tanpa mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan mereka masing-masing. Kebudayaan Teknologis Modern secara mencolok bersifat instumental.
b. Kebudayaan Modern Tiruan
Dari kebudayaan Teknologis Modern perlu dibedakan sesuatu yang mau saya sebut sebagai Kebudayaan Modern Tiruan. Kebudayaan Modern Tiruan itu terwujud dalam lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan kemodernan, tetapi sebenarnya hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriah saja, misalnya kebudayaan lapangan terbang internasional, kebudayaan supermarket (mall), dan kebudayaan Kentucky Fried Chicken (KFC).
Di lapangan terbang internasional orang dikelilingi oleh hasil teknologi tinggi, ia bergerak dalam dunia buatan: tangga berjalan, duty free shop dengan tawaran hal-hal yang kelihatan mentereng dan modern, meskipun sebenarnya tidak dibutuhkan, suasana non-real kabin pesawat terbang; semuanya artifisial, semuanya di seluruh dunia sama, tak ada hubungan batin.
Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa asal orang bersentuhan dengan hasil-hasil teknologi modern, ia menjadi manusia modern. Padahal dunia artifisial itu tidak menyumbangkan sesuatu apapun terhadap identitas kita. Identitas kita malahan semakin kosong karena kita semakin membiarkan diri dikemudikan. Selera kita, kelakuan kita, pilihan pakaian, rasa kagum dan penilaian kita semakin dimanipulasi, semakin kita tidak memiliki diri sendiri. Itulah sebabnya kebudayaan ini tidak nyata, melainkan tiruan, blasteran.
Anak Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah Konsumerisme: orang ketagihan membeli, bukan karena ia membutuhkan, atau ingin menikmati apa yang dibeli, melainkan demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern Blateran ini, bahkan membuat kita kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu dengan sungguh-sungguh. Konsumerisme berarti kita ingin memiliki sesuatu, akan tetapi kita semakin tidak mampu lagi menikmatinya. Orang makan di KFC bukan karena ayam di situ lebih enak rasanya, melainkan karena fast food dianggap gayanya manusia yang trendy, dan trendy adalah modern.
c. Kebudayaan-Kebudayaan Barat
Kita keliru apabila budaya blastern kita samakan dengan Kebudayaan Barat Modern. Kebudayaan Blastern itu memang produk Kebudayaan Barat, tetapi bukan hatinya, bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya. Ia mengancam Kebudayaan Barat, seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain, akan tetapi ia belum mencaploknya. Italia, Perancis, spayol, Jerman, bahkan barangkali juga Amerika Serikat masih mempertahankan kebudayaan khas mereka masing-masing. Meskipun di mana-mana orang minum Coca Cola, kebudayaan itu belum menjadi Kebudayaan Coca Cola.
Orang yang sekadar tersenggol sedikit dengan kebudayaan Barat palsu itu, dengan demikian belum mesti menjadi orang modern. Ia juga belum akan mengerti bagaimana orang Barat menilai, apa cita-citanya tentang pergaulan, apa selera estetik dan cita rasanya, apakah keyakinan-keyakinan moral dan religiusnya, apakah paham tanggung jawabnya (Suseno; 1992).
PERAN GENERASI MUDA BAGI BANGSANYA

Secara definitif seseorang dianggap pemuda jika dari sisi usia adalah dalam bentangan usia 10-24 tahun. Di sisi lain, seseorang bisa saja dianggap muda jika yang bersangkutan memiliki semangat sebagaimana kaum muda. Bisa jadi usianya tua kira-kira 40 tahunan akan tetapi masih berjiwa muda.
Generasi muda adalah the leader of tomorrow. Makanya di tangan kaum mudalah nasib sebuah bangsa dipertaruhkan. Jika kaum mudanya memiliki semangat dan kemampuan untuk membangun bangsa dan negaranya, maka sesungguhnya semuanya itu akan kembali kepadanya. Hasil pembangunan dalam aspek apapun sebenarnya adalah untuk kepentingan dirinya dan masyarakatnya.
Para generasi pendahulu telah menghasilkan karya besar bagi bangsa ini. Kemerdekaan bangsa merupakan karya monumental yang luar biasa yang dihasilkan oleh para founding fathers negeri ini, yang tidak lain adalah para pemuda. Kemerdekaan bangsa ini bukan dihasilkan melalui warisan para penjajah, namun dihasilkan melalui tercecernya keringat dan darah, semangat dan aktivitas, retorika dan diplomasi yang dilakukan oleh para pendahulu.
Peran pemuda dalam sejarah negara dan bangsa Indonesia pertama kali dapat dilihat dari kebangkitan bangsa tahun 1908 atau tepatnya ketika berdiri Boedi Oetomo tanggal 20 Mei 1908. Melalui proses kebangkitan bangsa ini, maka para pemuda telah menggelorakan semangat agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tidak terserak-serak dalam arti wilayah, suku, ras, agama dan sebagainya akan tetapi telah memiliki kesadaran berorganisasi sebagai persyaratan untuk kebangkitan nasional. Mereka dikenal sebagai generasi 08.
Salah satu tonggak lain, persatuan dan kesatuan bangsa sebenarnya ketika terjadi Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Hal ini berarti bahwa pemuda telah memiliki peran yang sangat signifikan dalam proses pembentukan negara kesatuan Republik Indonesia. Melalui Sumpah Pemuda: Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa Indonesia merupakan titik awal bagi proses pembentukan negara bangsa yang kemudian dikenal sebagai negara dan bangsa Indonesia. Kongres para pemuda di tahun tersebut tentunya tidak bisa dibayangkan seperti rapat umum di zaman sekarang. Rapat Umum para pemuda kala itu tentu berada di bawah bayang-bayang kekuasaan kaum kolonialis, sehingga akan terdapat banyak kesulitan yang dihadapi. Meskipun begitu, para pemuda dengan sangat antusias dan semangat akhirnya dapat mencetuskan gagasan mengenai Indonesia pasca penjajahan, Indonesia merdeka. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai generasi tahun 28.
Generasi muda kemudian juga berhasil menorehkan tinta emas bagi perjalanan bangsa ini ketika di tahun 1945 kembali mereka merenda dan mengimplementasikan gagasan mengenai satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa dalam bentuk kemerdekaan bangsa, yang teks proklamasinya dibacakan oleh Ir. Soekarno tepat jam 10 tanggal 17 Agustus 1945. Melalui proklamasi kemerdekaan ini, maka  bangsa Indonesia yang selama ini tidak  memiliki kedaulatan yang terfragmentasi dalam kerajaan-kerajaan, maka menyatu menjadi satu yaitu bangsa Indonesia.  Lagu Satu Nusa Satu Bangsa yang sering dikumandangkan pada waktu upacara merupakan simbol dan substansi dari menyatunya segenap elemen bangsa Indonesia. Mereka dikenal sebagai generasi 45.
Ketika terjadi krisis kekuasaan akibat gerakan makar yang dilakukan oleh PKI di tahun 1966, maka pemuda juga bangkit melakukan perlawanan. Para aktivis organisasi kemahasiswaan, seperti GMNI, PMII, HMI, PMKRI, GMKI dan segenap elemen mahasiswa melakukan tiga tuntutan rakyat (Tritura) yang sangat dikenang, yaitu: Bubarkan PKI, Bersihkan pemerintahan dari unsur-unsur PKI dan Turunkan harga. Tritura ini menjadi salah satu power pressure bagi pemerintahan Orde Lama untuk melakukan berbagai perubahan sehingga memunculkan Orde Baru yang kemudian berkuasa dalam puluhan tahun. Mereka dikenal sebagai generasi 66.
Kekuasaan Orde Baru yang tiranic, gigantic and powerfull ternyata juga tidak mampu menghadang kekuatan mahasiswa yang di tahun 1998 melakukan berbagai aksi untuk menurunkan Jenderal Besar Soeharto dari panggung kekuasaan. Melalui gerakan people power akhirnya kekuasaan otoriter Soeharto pun harus berakhir. Gerakan mahasiswa yang terjadi saat itu sungguh sekali lagi membuktikan bahwa mahasiswa memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan sosial. Melalui gerakan mahasiswa tersebut maka muncullah Orde reformasi yang berlangsung sekarang. Mereka dikenal sebagai generasi 98.
Mencermati terhadap gerakan para pemuda ini, maka kiranya tidak salah jika kemudian para pemuda dapat menjadi agent of social change, baik dalam skala nasional maupun lokal. Gerakan para pemuda dalam kiprahnya ini juga memberikan catatan bahwa ada siklus 20 tahunan, di mana para pemuda memainkan peranan signifikan dalam kehidupan bangsa dan negara.
TAWURAN

Perkelahian, atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar. Bahkan bukan “hanya” antar pelajar SMU, tapi juga sudah melanda sampai ke kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat sekaligus.
DAMPAK PERKELAHIAN PELAJAR
Jelas bahwa perkelahian pelajar ini merugikan banyak pihak. Paling tidak ada empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami dampak negatif pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan. Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang paling dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Para pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk memecahkan masalah mereka, dan karenanya memilih untuk melakukan apa saja agar tujuannya tercapai. Akibat yang terakhir ini jelas memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat di Indonesia.
PANDANGAN UMUM TERHADAP PENYEBAB PERKELAHIAN PELAJAR
Sering dituduhkan, pelajar yang berkelahi berasal dari sekolah kejuruan, berasal dari keluarga dengan ekonomi yang lemah. Data di Jakarta tidak mendukung hal ini. Dari 275 sekolah yang sering terlibat perkelahian, 77 di antaranya adalah sekolah menengah umum. Begitu juga dari tingkat ekonominya, yang menunjukkan ada sebagian pelajar yang sering berkelahi berasal dari keluarga mampu secara ekonomi. Tuduhan lain juga sering dialamatkan ke sekolah yang dirasa kurang memberikan pendidikan agama dan moral yang baik. Begitu juga pada keluarga yang dikatakan kurang harmonis dan sering tidak berada di rumah.
Padahal penyebab perkelahian pelajar tidaklah sesederhana itu. Terutama di kota besar, masalahnya sedemikian kompleks, meliputi faktor sosiologis, budaya, psikologis, juga kebijakan pendidikan dalam arti luas (kurikulum yang padat misalnya), serta kebijakan publik lainnya seperti angkutan umum dan tata kota.
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik. Pada delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang diharapkan oleh kelompoknya.
TINJAUAN PSIKOLOGI PENYEBAB REMAJA TERLIBAT PERKELAHIAN PELAJAR
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1. Faktor internal. Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat membutuhkan pengakuan.
2. Faktor keluarga. Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
3. Faktor sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.
4. Faktor lingkungan. Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.

Jumat, 05 Oktober 2012


Istilah-istilah sosiologi dalam kehidupan sehari-hari :

  • Kelompok Sosial
Kelompok yang anggotanya mempunyaikesadaran jenis, berhubungan sosial antar anggota, dan tidak ada kesadaran jenis.
  • Gregrariousness
Kelompok sosial yang dilatarbelakangi naluri manusia untuk selalu hidup dengan orang lain.
  • Prestise
Pengaruh.
  • In Group
Dalam kelompok.
  • Out Group
Luar dari kelompok
  • Etnosentrisme
Membanggakan budaya dalam dan menjelek-jelekan budaya luar.
  • Primary Group
Kelompok kecil yang agak langgeng(permanen) dan yang berdasarkan saling mengenal secara pribadi antarsesama
  • Secondary Group
Kelompok formal tidak pribadi dan berciri kelembagaan
  • Face To Face Relation
Anggotanya suatu kelompok kecil selalu sering mengenal
  • Gesellschaft ( Patembayan)
Ikatan lahir yang bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka (imagination) serta strukturnya bersifat mekanis sebagaimana dapat diumpamakan dengan sebuah mesin
  • Gemeinschaft ( Paguyuban )
Kehidupan bersama yang setiap anggotanya diikat oleh sehubungan batin yang murni, bersifat alamiah, dan kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan kesatuan batin yang memang telah dikodratkan.
  • Wesenwille
Bentuk kemauan yang dikodratkan yang timbul dari keseluruhan kehidupan alami
  • Kurwille
Bentuk kemauan yang dipimpin oleh cara berpikir
  • Intimate
Hubungan menyeluruh yang mesra sekali
  • Private
Hubungan  bersifat pribadi khusus untuk beberapa  orang saja
  • Exclusive
Hubungan yang ditujukan hanyalah untuk kita saja ,tidak untuk orang lain diluar kita
  • Public Life
Hubungan yang bersifat untuk semua orang
  • Formal Group
Kelompok yang mempunyai peraturan yang tegas dan dengan sengaja diciptakan oleh anggotanya untuk mengatur hubungan antaranggotanya
  • Informal Group
Kelompok yang tidak mempunyai struktur dan organisasi biasanya terbentuk karena pertemuan yang berulang kali menjadi dasar bagi bertemunya kepentingan dan pengalaman yang sama
  • Clique
Suatu kelompok kecil tanpa struktur formal
Yang sering timbul dalam kelompok besar
  • Kelompok Anggota ( Membership Group )
Kelompok yang setiap orang secara fisik menjadi anggota kelompok tersebut
  • Kelompok Acuan ( Reference Group )
Kelompok social yang menjadi ukuran bagi seseorang (bukan anggota kelompok tersebut) membentuk pribadi dan perilakunya
  • Publik
Kelompok yang bukan merupakan kesatuan
  • Kerumunan ( Crowd )
Suatu kelompok social yang bersifat sementara ( temporer )
  • Acting Crowd
Kerumunan yang bertindak emosional
  • Immoral Crowd
Kerumunan yang bersifat lembaga
  • Formal Audiences
Kerumunan yang mempunyai pusat perhatian dan persamaan tujuan, tetapi sifatnya pasif
  • Panic Crowd
Orang yang bersama-sama berusaha menyelamatkan diri dari bahaya
  • Planned Expressive group
Kerumunan yang pusat perhatiannya tidak begitu penting, tetapi mempunyai persamaan tujuan yang tersimpul dalam aktivitas kerumunan tersebut serta kepuasan
  • Inconvenient aggregations
Kerumunan yang bersifat sementara dan kurang menyenangkan karena kehadiran orang lain tidak diharapkan dalam kerumunan tersebut demi tercapainya tujuan, biasanya sekumpulan orang yang sedang mengantri
  • Spectator Crowd
Sekumpulan orang yang ingin melihat kejadian tertentu
  • Multikulturalisme
Sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaan budaya atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme ( keberagaman ) budaya sebagai suatu corak kehidupan masyarakat
  • Civic Education
Pendidikan kemasyarakatan
  • Stigma
Suatu klaim yang ditujukan kepada orang lain terbentuk karena sebuah pola pikir
  • Migrant Superiordination
Pola dominan kelompok pendatang atas kehendak pribumi
  • Genosida ( Genocide )
Pembersihan / penghapusan etnik
  • Rasisme
Ideologi yang didasarkan pada keyakinan bahwa  ciri tertentu yang dibawa sejak lahir menandakan bahwa pemilik ciri itu lebih rendah sehingga mereka didiskriminasi
  • Seksisme
Ideologi yang beranggapan bahwa hal kecerdasan dan kekuatan fisik laki-laki melebihi perempuan dan perempuan lebih emosional daripada laki-laki
  • Dekulturasi
Proses luntur atau hilangya kebudayaan pendatang atas kelompok ras pribumi
  • Kolektif
Perilaku sejumlah orang guna mencapai tujuan yang dipicu suatu peristiwa, benda , atau ide
  • Paternalisme
Bentuk dominasi kelompok ras pendatang atas kelompok ras pribumi
  • Integrasi
Suatu pola hubungan yang mengakui adanya perbedaan ras dalam masyarakat, tetapi tidak memberikan makna penting pada perbedaan ras tersebut.
  • Pluralisme
Pola hubungan yang mengenal pengakuan persamaan hak politik dan hak perdata semua warga masyarakat, tetapi memberikan arti penting lebih besar pada kemajemukan kelompok ras daripada pola integrasi
  • White Supermacy
Ideologi rasis yang menganggap bahwa orang kulit putih lebih unggul daripada orang kulit hitam
  • Koersi ( Coercion )
Tindakan yang mengandung paksaan
  • Interaksi Sosial
Suatu hubungan yang terjadi antara individu dengan individu ,individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok yang terjadi dalam suatu masyarakat
  • Intergenerasi
Sesuatu yang terjadi pada beberapa generasi dalam saru garis keturunan
  • Intragenerasi
Sesuatu yang terjadi pada satu generasi yang sama
  • Gencatan senjata
Pencegahan permusuhan untuk jangka waktu tertentu, guna melakukan suatu pekerjaan tertentu yang tidak boleh diganggu
  • Ajudikasi
Suatu penyelesaian perkara atau sengketa pengadilan
  • Akulturasi
Pembauran atau perpaduan kebudayaan kelompok ras yang bertemu
  • Arbitrase
Perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memutuskan dan diterima serta ditaati oleh kedua pihak
  • Diskriminasi
Perlakuan berbeda terhadap orang yang dikelompokkan dalam kategori khusus
  • Konsiliasi
Usaha untuk mempertemukan keinginan pihak yang berselisih bagi tercapainya
Suatu persetujuan bersama
  • Kompromi
Kedua atau semua pihak yang terlibat dalam konflik berusaha mencari dan mendapatkan jalan tengah, dengan mengurai tuntutan tertentu
  • Konflik
Suatu proses social yang dua orang atau kelompok berusaha menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya
  • Kontravensi
Suatu bentuk proses social yang ditandai oleh gejala adanya ketidakpastian mengenai diri seseorang atau suatu rencana dan perasaan tidak suka yang disembunyikan, kebencian atau keraguan terhadap kepribadian seseorang
  • Mobilitas
Gerak perubahan yang terjadi dalam masyarakat
  • Masyarakat Majemuk
Suatu masyarakat yang didalamnya terdapat kelompok yang berbeda bercampur, tetapi tidak berbaur
  • Mobilisasi Geografik
Adanya kondisi yang susah yang mendorong orang melakukan urbanisasi, yaitu pindah ke daerah lain yang lebih menguntungkan secara ekonomi
  • Mobilitas Sosial
Perpindahan social, gerak social atau gerakan social yang dapat berbentuk fisik dan nonfisik
  • Stalemate
Suatu keadaan pihak yang bertentangan memiliki kekuatan setimbang, namun terhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya karena kedua belah pihak sudah tidak mungkin lagi maju atau mundur
  • Subjugation
Orang atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar dapat memaksa orang atau pihak lain untuk menaatinya
  • Stratifikasi Sosial
Pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atas dasar kekuasaan, hak-hak istimewa, dan prestise
  • Struktur Sosial
Hubungan timbale balik antara posisi dan peranan
  • Solidaritas
Adanya sifat atau rasa senasib dan sebagainya ; perasaan setia kawan
  • Mediasi
Penghentian pertikaian oleh pihak ketiga dengan diberikan keputusan yang mengikat
  • Diferensiasi Sosial
Pembedaan penduduk atau warga masyarakat ke dalam golongan-golongan atau kelompok secara horizontal ( tidak bertingkat )
  • Stratifikasi Sosial
Pembedaan penduduk atau warga secara bertingkat ( vertikal )

Senin, 01 Oktober 2012

TOKOH TOKOH SOSIOLOGI


TOKOH TOKOH SOSIOLOGI

1. Auguste Comte : Sosiologi Positivis  dari Prancis (1798-1857)
2. Emile Durkheim : Sosiologi Struktural dari Prancis (1859-1917)
3. Karl Marx: Sosiologi Marxis dari Jerman (1818-1883)
4. Herbert Spencer : Sosiologi Evolusioner dari Inggris (1820-1903)
5. Max Weber : Sosiologi Weber dari Jerman (1864-1920)
6. Georg Simmel : Filsafat Uang dari Jerman (1858-1919)
7. Ferdinand Tonnies : Klasifikasi Sosial dari Jerman (1855-1936)
8. Herbert Marcuse : One Dimensional Man dari Jerman (1898-1979)
9. Jurgen Habermas : Komunikasi Rasional dari Jerman, 1929
10. Antonio Gramsci: Hegemoni dari Italia (1891-1937)
11. Charles Horton Cooley (1846-1929)
12. George Herbert Mead (1863-1931)
13. Ibnu Kholdun : Bapak Sosiologi Islam dari Tunisia pada 1 Ramadan 732 H./27 Mei 1332 M – Kairo 25 Ramadan 808 H./19 Maret 1406 M

Tugas Analitika (Tugas 3)






Gambar diatas menunjukan sekelompok anak sedang bermain gangsing di perumahan Taman Sarua, Bojong Sari Depok
Menurut sosiologi kelompok diatas di sebut gemeinschaft of mind


Sumber : Kompas edisi 2 September 2012 Hal 32