BUDAYA BARAT MELEMAHKAN KARAKTER PANCASILA PEMUDA INDONESIA
Benang merah dari situasi pelik yang sedang dihadapi oleh dunia
global saat ini adalah keterlibatan bangsa Barat, Amerika dan sekutunya,
dalam mencampuri urusan rumah tangga negara lain. Mereka mengintervensi
Pemerintahan yang sedang berkuasa di dunia dengan tafsir dan persepsi
mereka tentang tata kelola dan kepemimpinan. Mewujudkan tata dunia baru,
demikian semboyan yang mereka dengung-dengungkan dalam melancarkan
aksinya.
Sejarah peradaban manusia mengajarkan kepada kita bahwa manusia
diciptakan oleh Tuhan secara unik. Mereka berbeda-beda alias tidak ada
yang sama. Dan karena kebesaran Tuhan-lah maka dari kamajemukan karakter
tersebut dikelompokkan menjadi rumpun dan ras yang dipisahkan secara
geografis. Setiap bangsa di dunia melahirkan kebudayaan dengan ciri
khusus dan kekayaan nilai-nilai kearifan lokal.
Bagaimana dengan karakter bangsa kita, bangsa Indonesia? Indonesia
secara jelas telah memiliki jati diri dalam mengelola tata pemerintahan
dan masyarakat. Uruslah negara kita sesuai jati diri kita, yakni
Pancasila. Negara-negara Barat menggunakan dan mengoptimalkan pepatah
“rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau” untuk melemahkan karakter
Pancasila yang diusung oleh nenek moyang bangsa kita.
Dan celakanya, mereka berhasil menanamkan budaya asing di Indonesia
dengan nyaris sempurna. Saat ini generasi muda Indonesia lebih suka
menanam rumput tetangga daripada rumput di rumah sendiri. Mereka
membangga-banggakan kebiasaan yang dilakukan bangsa Barat sebagai
karakter baru yang menyisihkan nilai-nilai luhur Pancasila.
Pancasila Sebagai Karakter dan Identitas Bangsa
Apakah ‘rumput tetangga’ yang ditanam oleh Barat sesuai dengan
Indonesia? Dari alam semesta dapat kita petik banyak pelajaran
kehidupan. Beberapa contoh seperti tumbuh-tumbuhan yang terbagi dalam
jutaan spesies. Masing-masing tanaman memiliki kecocokan tersendiri agar
dapat tumbuh di iklim dan dataran yang berbeda-beda. Begitu pula dengan
hewan dan manusia. Semuanya memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Sebagai bangsa Indonesia, kita memiliki identitas sebagai bangsa
Timur yang hidup dengan peradaban yang mengutamakan tata krama, moral
dan alamiah. Sedangkan bangsa Barat terbiasa dengan kepraktisan,
keliaran, dan ilmiah. Sudah Jelas, bahwa Indonesia adalah bagian dari
peradaban Timur dengan dijiwai karakter Pancasila. Apakah Anda hendak
menyangkal fakta ini?
Agar Pancasila dapat benar-benar menjadi pandangan hidup bangsa dan
dasar negara, maka perlu adanya kebulatan tekad dari setiap warga negara
Indonesia, setiap penyelenggara negara, dan setiap lembaga kenegaraan
dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di daerah, untuk
mempunyai loyalitas tunggal terhadap Pancasila itu sendiri.
Menyamarkan Budaya Barat Menjadi Modernisasi
Memang sudah selayaknya Pancasila harus diletakkan pada kehidupan
bangsa Indonesia secara mengikat dan memaksa (imperatif) seperti yang
dilakukan oleh mendiang Pak Harto. Tidakkah Anda semua merasa aneh, Pak
Harto yang mengusung, mengawal, dan meletakkan Pancasila pada segala
sendi kehidupan bangsa Indonesia, dianggap diktator? Sedangkan Amerika
dan kawan-kawan yang mengusung, mengawal, dan memaksakan liberalisme
kepada seluruh dunia dianggap sebagai pahlawan?
Disinilah bukti kelihaian bangsa Barat dalam memperdayai dunia dengan
cara menyamarkan kata “KELIARAN” menjadi “KEBEBASAN” atau “KUDETA”
menjadi “PERUBAHAN”. Seperti telah saya tulis dalam artikel sebelumnya, semuanya tidak ada hal yang kebetulan di dunia ini. Yang ada adalah makna-makna yang belum berhasil dinamakan oleh manusia.
Sesungguhnya, alam semesta ini adalah sebuah wadah dengan sistim
‘automatic adjustment, namun selama ini telah ditunggangi dan
dimanipulasi oleh pemaksaan konsep tunggal yang bertujuan memperjuangkan
kepentingan politik kelompok tertentu.
Amerika dan negara-negara Barat sejak era penjelajahan samudera telah
berusaha menancapkan pengaruh mereka terhadap negara-negara di dunia,
termasuk tanah air kita Indonesia. Setelah para pejuang bangsa
memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, apakah Anda
bersedia negeri ini dijajah bangsa Barat untuk kedua kalinya? Tentu kita
tidak mengharapkan hal tersebut terjadi.
Telah menjadi tugas yang tidak mudah untuk menyelamatkan budaya
Pancasila ditengah gempuran budaya Barat saat ini. Langkah paling nyata
dapat kita mulai dari lingkungan keluarga. Mari bentengi anak-anak kita
untuk selalu bertingkah laku dan berpegang teguh pada nilai-nilai moral
Indonesia. Berpikir modern tidak serta merta meninggalkan budaya bangsa
sediri. Generasi muda yang cerdas dan berakhlak mulia merupakan jaminan
kemajuan suatu bangsa. (RAP/07/12)
Sabtu, 06 Oktober 2012
KEBUDAYAAN BARAT DI INDONESIA
Proses
akulturasi di Indonesia tampaknya beralir secara simpang siur, dipercepat oleh
usul-usul radikal, dihambat oleh aliran kolot, tersesat dalam
ideologi-ideologi, tetapi pada dasarnya dilihat arah induk yang lurus: ”the
things of humanity all humanity enjoys”. Terdapatlah arus pokok yang dengan
spontan menerima unsur-unsur kebudayaan internasional yang jelas menguntungkan
secara positif.
Akan
tetapi pada refleksi dan dalam usaha merumuskannya kerap kali timbul reaksi,
karena kategori berpikir belum mendamaikan diri dengan suasana baru atau
penataran asing. Taraf-taraf akulturasi dengan kebudayaan Barat pada permulaan
masih dapat diperbedakan, kemudian menjadi overlapping satu kepada yang lain
sampai pluralitas, taraf, tingkat dan aliran timbul yang serentak. Kebudayaan
Barat mempengaruhi masyarakat Indonesia, lapis demi lapis, makin lama makin
luas lagi dalam (Bakker; 1984).
Apakah
kebudayaan Barat modern semua buruk dan akan mengerogoti Kebudayaan Nasional
yang kita gagas? Oleh karena itu, kita perlu merumuskan definisi yang jelas
tentang Kebudayaan Barat Modern. Frans Magnis Suseno dalam bukunya ”Filsafat
Kebudayan Politik”, membedakan tiga macam Kebudayaan Barat Modern:
a. Kebudayaan Teknologi Modern
Pertama kita harus membedakan antara Kebudayan
Barat Modern dan Kebudayaan Teknologis Modern. Kebudayaan Teknologis Modern
merupakan anak Kebudayaan Barat. Akan tetapi, meskipun Kebudayaan Teknologis
Modern jelas sekali ikut menentukan wujud Kebudayaan Barat, anak itu sudah
menjadi dewasa dan sekarang memperoleh semakin banyak masukan non-Barat,
misalnya dari Jepang.
Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan sesuatu
yang kompleks. Penyataan-penyataan simplistik, begitu pula penilaian-penilaian
hitam putih hanya akan menunjukkan kekurangcanggihan pikiran. Kebudayaan itu
kelihatan bukan hanya dalam sains dan teknologi, melainkan dalam kedudukan
dominan yang diambil oleh hasil-hasil sains dan teknologi dalam hidup
masyarakat: media komunikasi, sarana mobilitas fisik dan angkutan, segala macam
peralatan rumah tangga serta persenjataan modern. Hampir semua produk kebutuhan
hidup sehari-hari sudah melibatkan teknologi modern dalam pembuatannya.
Kebudayaan Teknologis Modern itu kontradiktif.
Dalam arti tertentu dia bebas nilai, netral. Bisa dipakai atau tidak.
Pemakaiannya tidak mempunyai implikasi ideologis atau keagamaan. Seorang
Sekularis dan Ateis, Kristen Liberal, Budhis, Islam Modernis atau Islam
Fundamentalis, bahkan segala macam aliran New Age dan para normal dapat dan mau
memakainya, tanpa mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan mereka
masing-masing. Kebudayaan Teknologis Modern secara mencolok bersifat
instumental.
b. Kebudayaan Modern Tiruan
Dari kebudayaan Teknologis Modern perlu dibedakan
sesuatu yang mau saya sebut sebagai Kebudayaan Modern Tiruan. Kebudayaan Modern
Tiruan itu terwujud dalam lingkungan yang tampaknya mencerminkan kegemerlapan
teknologi tinggi dan kemodernan, tetapi sebenarnya hanya mencakup pemilikan
simbol-simbol lahiriah saja, misalnya kebudayaan lapangan terbang
internasional, kebudayaan supermarket (mall), dan kebudayaan Kentucky Fried
Chicken (KFC).
Di lapangan terbang internasional orang
dikelilingi oleh hasil teknologi tinggi, ia bergerak dalam dunia buatan: tangga
berjalan, duty free shop dengan tawaran
hal-hal yang kelihatan mentereng dan modern, meskipun sebenarnya tidak
dibutuhkan, suasana non-real kabin pesawat terbang; semuanya artifisial,
semuanya di seluruh dunia sama, tak ada hubungan batin.
Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari ilusi, bahwa
asal orang bersentuhan dengan hasil-hasil teknologi modern, ia menjadi manusia
modern. Padahal dunia artifisial itu tidak menyumbangkan sesuatu apapun
terhadap identitas kita. Identitas kita malahan semakin kosong karena kita
semakin membiarkan diri dikemudikan. Selera kita, kelakuan kita, pilihan
pakaian, rasa kagum dan penilaian kita semakin dimanipulasi, semakin kita tidak
memiliki diri sendiri. Itulah sebabnya kebudayaan ini tidak nyata, melainkan
tiruan, blasteran.
Anak Kebudayaan Modern Tiruan ini adalah
Konsumerisme: orang ketagihan membeli, bukan karena ia membutuhkan, atau ingin
menikmati apa yang dibeli, melainkan demi membelinya sendiri. Kebudayaan Modern
Blateran ini, bahkan membuat kita kehilangan kemampuan untuk menikmati sesuatu
dengan sungguh-sungguh. Konsumerisme berarti kita ingin memiliki sesuatu, akan
tetapi kita semakin tidak mampu lagi menikmatinya. Orang makan di KFC bukan
karena ayam di situ lebih enak rasanya, melainkan karena fast food dianggap
gayanya manusia yang trendy, dan trendy adalah modern.
c. Kebudayaan-Kebudayaan Barat
Kita keliru apabila budaya blastern kita samakan
dengan Kebudayaan Barat Modern. Kebudayaan Blastern itu memang produk
Kebudayaan Barat, tetapi bukan hatinya, bukan pusatnya dan bukan kunci vitalitasnya.
Ia mengancam Kebudayaan Barat, seperti ia mengancam identitas kebudayaan lain,
akan tetapi ia belum mencaploknya. Italia, Perancis, spayol, Jerman, bahkan
barangkali juga Amerika Serikat masih mempertahankan kebudayaan khas mereka
masing-masing. Meskipun di mana-mana orang minum Coca Cola, kebudayaan itu
belum menjadi Kebudayaan Coca Cola.
Orang yang sekadar tersenggol sedikit dengan
kebudayaan Barat palsu itu, dengan demikian belum mesti menjadi orang modern.
Ia juga belum akan mengerti bagaimana orang Barat menilai, apa cita-citanya
tentang pergaulan, apa selera estetik dan cita rasanya, apakah
keyakinan-keyakinan moral dan religiusnya, apakah paham tanggung jawabnya
(Suseno; 1992).
PERAN GENERASI MUDA BAGI BANGSANYA
Secara definitif seseorang dianggap
pemuda jika dari sisi usia adalah dalam bentangan usia 10-24 tahun. Di
sisi lain, seseorang bisa saja dianggap muda jika yang bersangkutan
memiliki semangat sebagaimana kaum muda. Bisa jadi usianya tua kira-kira
40 tahunan akan tetapi masih berjiwa muda.
Generasi muda adalah the leader of
tomorrow. Makanya di tangan kaum mudalah nasib sebuah bangsa
dipertaruhkan. Jika kaum mudanya memiliki semangat dan kemampuan untuk
membangun bangsa dan negaranya, maka sesungguhnya semuanya itu akan
kembali kepadanya. Hasil pembangunan dalam aspek apapun sebenarnya
adalah untuk kepentingan dirinya dan masyarakatnya.
Para generasi pendahulu telah
menghasilkan karya besar bagi bangsa ini. Kemerdekaan bangsa merupakan
karya monumental yang luar biasa yang dihasilkan oleh para founding
fathers negeri ini, yang tidak lain adalah para pemuda. Kemerdekaan
bangsa ini bukan dihasilkan melalui warisan para penjajah, namun
dihasilkan melalui tercecernya keringat dan darah, semangat dan
aktivitas, retorika dan diplomasi yang dilakukan oleh para pendahulu.
Peran pemuda dalam sejarah negara dan
bangsa Indonesia pertama kali dapat dilihat dari kebangkitan bangsa
tahun 1908 atau tepatnya ketika berdiri Boedi Oetomo tanggal 20 Mei
1908. Melalui proses kebangkitan bangsa ini, maka para pemuda telah
menggelorakan semangat agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tidak
terserak-serak dalam arti wilayah, suku, ras, agama dan sebagainya akan
tetapi telah memiliki kesadaran berorganisasi sebagai persyaratan untuk
kebangkitan nasional. Mereka dikenal sebagai generasi 08.
Salah satu tonggak lain, persatuan dan
kesatuan bangsa sebenarnya ketika terjadi Sumpah Pemuda tanggal 28
Oktober 1928. Hal ini berarti bahwa pemuda telah memiliki peran yang
sangat signifikan dalam proses pembentukan negara kesatuan Republik
Indonesia. Melalui Sumpah Pemuda: Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa
Indonesia merupakan titik awal bagi proses pembentukan negara bangsa
yang kemudian dikenal sebagai negara dan bangsa Indonesia. Kongres para
pemuda di tahun tersebut tentunya tidak bisa dibayangkan seperti rapat
umum di zaman sekarang. Rapat Umum para pemuda kala itu tentu berada di
bawah bayang-bayang kekuasaan kaum kolonialis, sehingga akan terdapat
banyak kesulitan yang dihadapi. Meskipun begitu, para pemuda dengan
sangat antusias dan semangat akhirnya dapat mencetuskan gagasan mengenai
Indonesia pasca penjajahan, Indonesia merdeka. Mereka inilah yang
kemudian disebut sebagai generasi tahun 28.
Generasi muda kemudian juga berhasil
menorehkan tinta emas bagi perjalanan bangsa ini ketika di tahun 1945
kembali mereka merenda dan mengimplementasikan gagasan mengenai satu
nusa, satu bangsa dan satu bahasa dalam bentuk kemerdekaan bangsa, yang
teks proklamasinya dibacakan oleh Ir. Soekarno tepat jam 10 tanggal 17
Agustus 1945. Melalui proklamasi kemerdekaan ini, maka bangsa Indonesia
yang selama ini tidak memiliki kedaulatan yang terfragmentasi dalam
kerajaan-kerajaan, maka menyatu menjadi satu yaitu bangsa Indonesia.
Lagu Satu Nusa Satu Bangsa yang sering dikumandangkan pada waktu upacara
merupakan simbol dan substansi dari menyatunya segenap elemen bangsa
Indonesia. Mereka dikenal sebagai generasi 45.
Ketika terjadi krisis kekuasaan akibat
gerakan makar yang dilakukan oleh PKI di tahun 1966, maka pemuda juga
bangkit melakukan perlawanan. Para aktivis organisasi kemahasiswaan,
seperti GMNI, PMII, HMI, PMKRI, GMKI dan segenap elemen mahasiswa
melakukan tiga tuntutan rakyat (Tritura) yang sangat dikenang, yaitu:
Bubarkan PKI, Bersihkan pemerintahan dari unsur-unsur PKI dan Turunkan
harga. Tritura ini menjadi salah satu power pressure bagi pemerintahan
Orde Lama untuk melakukan berbagai perubahan sehingga memunculkan Orde
Baru yang kemudian berkuasa dalam puluhan tahun. Mereka dikenal sebagai
generasi 66.
Kekuasaan Orde Baru yang tiranic,
gigantic and powerfull ternyata juga tidak mampu menghadang kekuatan
mahasiswa yang di tahun 1998 melakukan berbagai aksi untuk menurunkan
Jenderal Besar Soeharto dari panggung kekuasaan. Melalui gerakan people
power akhirnya kekuasaan otoriter Soeharto pun harus berakhir. Gerakan
mahasiswa yang terjadi saat itu sungguh sekali lagi membuktikan bahwa
mahasiswa memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan sosial. Melalui
gerakan mahasiswa tersebut maka muncullah Orde reformasi yang
berlangsung sekarang. Mereka dikenal sebagai generasi 98.
Mencermati terhadap gerakan para pemuda
ini, maka kiranya tidak salah jika kemudian para pemuda dapat menjadi
agent of social change, baik dalam skala nasional maupun lokal. Gerakan
para pemuda dalam kiprahnya ini juga memberikan catatan bahwa ada siklus
20 tahunan, di mana para pemuda memainkan peranan signifikan dalam
kehidupan bangsa dan negara.
TAWURAN
Perkelahian, atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar. Bahkan bukan “hanya” antar pelajar SMU, tapi juga sudah melanda sampai ke kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja.
DAMPAK PERKELAHIAN PELAJAR
Perkelahian, atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar. Bahkan bukan “hanya” antar pelajar SMU, tapi juga sudah melanda sampai ke kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja.
Di
kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran ini sering
terjadi. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992
tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi
183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus
dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun
1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan
tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari
tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat.
Bahkan sering tercatat dalam satu hari terdapat sampai tiga perkelahian
di tiga tempat sekaligus.
Jelas
bahwa perkelahian pelajar ini merugikan banyak pihak. Paling tidak ada
empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar. Pertama, pelajar
(dan keluarganya) yang terlibat perkelahian sendiri jelas mengalami
dampak negatif pertama bila mengalami cedera atau bahkan tewas. Kedua,
rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya, serta
fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan. Ketiga, terganggunya
proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin adalah yang paling
dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan siswa
terhadap toleransi, perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain. Para
pelajar itu belajar bahwa kekerasan adalah cara yang paling efektif
untuk memecahkan masalah mereka, dan karenanya memilih untuk melakukan
apa saja agar tujuannya tercapai. Akibat yang terakhir ini jelas
memiliki konsekuensi jangka panjang terhadap kelangsungan hidup
bermasyarakat di Indonesia.
PANDANGAN UMUM TERHADAP PENYEBAB PERKELAHIAN PELAJAR
Sering
dituduhkan, pelajar yang berkelahi berasal dari sekolah kejuruan,
berasal dari keluarga dengan ekonomi yang lemah. Data di Jakarta tidak
mendukung hal ini. Dari 275 sekolah yang sering terlibat perkelahian, 77
di antaranya adalah sekolah menengah umum. Begitu juga dari tingkat
ekonominya, yang menunjukkan ada sebagian pelajar yang sering berkelahi
berasal dari keluarga mampu secara ekonomi. Tuduhan lain juga sering
dialamatkan ke sekolah yang dirasa kurang memberikan pendidikan agama
dan moral yang baik. Begitu juga pada keluarga yang dikatakan kurang
harmonis dan sering tidak berada di rumah.
Padahal
penyebab perkelahian pelajar tidaklah sesederhana itu. Terutama di kota
besar, masalahnya sedemikian kompleks, meliputi faktor sosiologis,
budaya, psikologis, juga kebijakan pendidikan dalam arti luas (kurikulum
yang padat misalnya), serta kebijakan publik lainnya seperti angkutan
umum dan tata kota.
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency).
Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2
jenis delikuensi yaitu situasional dan sistematik. Pada delikuensi
situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang
“mengharuskan” mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul
akibat adanya kebutuhan untuk memecahkan masalah secara cepat. Sedangkan
pada delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu
berada di dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan,
norma dan kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk
berkelahi. Sebagai anggota, mereka bangga kalau dapat melakukan apa yang
diharapkan oleh kelompoknya.
TINJAUAN PSIKOLOGI PENYEBAB REMAJA TERLIBAT PERKELAHIAN PELAJAR
Dalam
pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara
kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walau
tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu pula dalam hal
perkelahian pelajar. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor
psikologis mengapa seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1. Faktor internal.
Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan
adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti
adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua
rangsang dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak.
Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap orang. Tapi pada
remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk mengatasi,
apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka
biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan
orang / pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara
tersingkat untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi,
ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi,
memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan
memiliki perasaan rendah diri yang kuat. Mereka biasanya sangat
membutuhkan pengakuan.
2. Faktor keluarga.
Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada
anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja,
belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal
yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang
terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu
yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang
unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya
secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang
dibangunnya.
3. Faktor sekolah.
Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus
mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus
dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang
tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang
monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya
fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan
kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Baru setelah itu
masalah pendidikan, di mana guru jelas memainkan peranan paling penting.
Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan,
serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga menggunakan cara
kekerasan (walau dalam bentuk berbeda) dalam “mendidik” siswanya.
4. Faktor lingkungan.
Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami,
juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan
rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku
buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang
sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara)
yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar
sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang
berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
Jumat, 05 Oktober 2012
Istilah-istilah sosiologi dalam kehidupan sehari-hari :
- Kelompok Sosial
Kelompok yang anggotanya mempunyaikesadaran jenis, berhubungan sosial antar anggota, dan tidak ada kesadaran jenis.
- Gregrariousness
Kelompok sosial yang dilatarbelakangi naluri manusia untuk selalu hidup dengan orang lain.
- Prestise
Pengaruh.
- In Group
Dalam kelompok.
- Out Group
Luar dari kelompok
- Etnosentrisme
Membanggakan budaya dalam dan menjelek-jelekan budaya luar.
- Primary Group
Kelompok kecil yang agak langgeng(permanen) dan yang berdasarkan saling mengenal secara pribadi antarsesama
- Secondary Group
Kelompok formal tidak pribadi dan berciri kelembagaan
- Face To Face Relation
Anggotanya suatu kelompok kecil selalu sering mengenal
- Gesellschaft ( Patembayan)
Ikatan lahir yang bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka (imagination) serta strukturnya bersifat mekanis sebagaimana dapat diumpamakan dengan sebuah mesin
- Gemeinschaft ( Paguyuban )
Kehidupan bersama yang setiap anggotanya diikat oleh sehubungan batin yang murni, bersifat alamiah, dan kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan kesatuan batin yang memang telah dikodratkan.
- Wesenwille
Bentuk kemauan yang dikodratkan yang timbul dari keseluruhan kehidupan alami
- Kurwille
Bentuk kemauan yang dipimpin oleh cara berpikir
- Intimate
Hubungan menyeluruh yang mesra sekali
- Private
Hubungan bersifat pribadi khusus untuk beberapa orang saja
- Exclusive
Hubungan yang ditujukan hanyalah untuk kita saja ,tidak untuk orang lain diluar kita
- Public Life
Hubungan yang bersifat untuk semua orang
- Formal Group
Kelompok yang mempunyai peraturan yang tegas dan dengan sengaja diciptakan oleh anggotanya untuk mengatur hubungan antaranggotanya
- Informal Group
Kelompok yang tidak mempunyai struktur dan organisasi biasanya terbentuk karena pertemuan yang berulang kali menjadi dasar bagi bertemunya kepentingan dan pengalaman yang sama
- Clique
Suatu kelompok kecil tanpa struktur formal
Yang sering timbul dalam kelompok besar
- Kelompok Anggota ( Membership Group )
Kelompok yang setiap orang secara fisik menjadi anggota kelompok tersebut
- Kelompok Acuan ( Reference Group )
Kelompok social yang menjadi ukuran bagi seseorang (bukan anggota kelompok tersebut) membentuk pribadi dan perilakunya
- Publik
Kelompok yang bukan merupakan kesatuan
- Kerumunan ( Crowd )
Suatu kelompok social yang bersifat sementara ( temporer )
- Acting Crowd
Kerumunan yang bertindak emosional
- Immoral Crowd
Kerumunan yang bersifat lembaga
- Formal Audiences
Kerumunan yang mempunyai pusat perhatian dan persamaan tujuan, tetapi sifatnya pasif
- Panic Crowd
Orang yang bersama-sama berusaha menyelamatkan diri dari bahaya
- Planned Expressive group
Kerumunan yang pusat perhatiannya tidak begitu penting, tetapi mempunyai persamaan tujuan yang tersimpul dalam aktivitas kerumunan tersebut serta kepuasan
- Inconvenient aggregations
Kerumunan yang bersifat sementara dan kurang menyenangkan karena kehadiran orang lain tidak diharapkan dalam kerumunan tersebut demi tercapainya tujuan, biasanya sekumpulan orang yang sedang mengantri
- Spectator Crowd
Sekumpulan orang yang ingin melihat kejadian tertentu
- Multikulturalisme
Sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaan budaya atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme ( keberagaman ) budaya sebagai suatu corak kehidupan masyarakat
- Civic Education
Pendidikan kemasyarakatan
- Stigma
Suatu klaim yang ditujukan kepada orang lain terbentuk karena sebuah pola pikir
- Migrant Superiordination
Pola dominan kelompok pendatang atas kehendak pribumi
- Genosida ( Genocide )
Pembersihan / penghapusan etnik
- Rasisme
Ideologi yang didasarkan pada keyakinan bahwa ciri tertentu yang dibawa sejak lahir menandakan bahwa pemilik ciri itu lebih rendah sehingga mereka didiskriminasi
- Seksisme
Ideologi yang beranggapan bahwa hal kecerdasan dan kekuatan fisik laki-laki melebihi perempuan dan perempuan lebih emosional daripada laki-laki
- Dekulturasi
Proses luntur atau hilangya kebudayaan pendatang atas kelompok ras pribumi
- Kolektif
Perilaku sejumlah orang guna mencapai tujuan yang dipicu suatu peristiwa, benda , atau ide
- Paternalisme
Bentuk dominasi kelompok ras pendatang atas kelompok ras pribumi
- Integrasi
Suatu pola hubungan yang mengakui adanya perbedaan ras dalam masyarakat, tetapi tidak memberikan makna penting pada perbedaan ras tersebut.
- Pluralisme
Pola hubungan yang mengenal pengakuan persamaan hak politik dan hak perdata semua warga masyarakat, tetapi memberikan arti penting lebih besar pada kemajemukan kelompok ras daripada pola integrasi
- White Supermacy
Ideologi rasis yang menganggap bahwa orang kulit putih lebih unggul daripada orang kulit hitam
- Koersi ( Coercion )
Tindakan yang mengandung paksaan
- Interaksi Sosial
Suatu hubungan yang terjadi antara individu dengan individu ,individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok yang terjadi dalam suatu masyarakat
- Intergenerasi
Sesuatu yang terjadi pada beberapa generasi dalam saru garis keturunan
- Intragenerasi
Sesuatu yang terjadi pada satu generasi yang sama
- Gencatan senjata
Pencegahan permusuhan untuk jangka waktu tertentu, guna melakukan suatu pekerjaan tertentu yang tidak boleh diganggu
- Ajudikasi
Suatu penyelesaian perkara atau sengketa pengadilan
- Akulturasi
Pembauran atau perpaduan kebudayaan kelompok ras yang bertemu
- Arbitrase
Perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memutuskan dan diterima serta ditaati oleh kedua pihak
- Diskriminasi
Perlakuan berbeda terhadap orang yang dikelompokkan dalam kategori khusus
- Konsiliasi
Usaha untuk mempertemukan keinginan pihak yang berselisih bagi tercapainya
Suatu persetujuan bersama
- Kompromi
Kedua atau semua pihak yang terlibat dalam konflik berusaha mencari dan mendapatkan jalan tengah, dengan mengurai tuntutan tertentu
- Konflik
Suatu proses social yang dua orang atau kelompok berusaha menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya
- Kontravensi
Suatu bentuk proses social yang ditandai oleh gejala adanya ketidakpastian mengenai diri seseorang atau suatu rencana dan perasaan tidak suka yang disembunyikan, kebencian atau keraguan terhadap kepribadian seseorang
- Mobilitas
Gerak perubahan yang terjadi dalam masyarakat
- Masyarakat Majemuk
Suatu masyarakat yang didalamnya terdapat kelompok yang berbeda bercampur, tetapi tidak berbaur
- Mobilisasi Geografik
Adanya kondisi yang susah yang mendorong orang melakukan urbanisasi, yaitu pindah ke daerah lain yang lebih menguntungkan secara ekonomi
- Mobilitas Sosial
Perpindahan social, gerak social atau gerakan social yang dapat berbentuk fisik dan nonfisik
- Stalemate
Suatu keadaan pihak yang bertentangan memiliki kekuatan setimbang, namun terhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya karena kedua belah pihak sudah tidak mungkin lagi maju atau mundur
- Subjugation
Orang atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar dapat memaksa orang atau pihak lain untuk menaatinya
- Stratifikasi Sosial
Pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atas dasar kekuasaan, hak-hak istimewa, dan prestise
- Struktur Sosial
Hubungan timbale balik antara posisi dan peranan
- Solidaritas
Adanya sifat atau rasa senasib dan sebagainya ; perasaan setia kawan
- Mediasi
Penghentian pertikaian oleh pihak ketiga dengan diberikan keputusan yang mengikat
- Diferensiasi Sosial
Pembedaan penduduk atau warga masyarakat ke dalam golongan-golongan atau kelompok secara horizontal ( tidak bertingkat )
- Stratifikasi Sosial
Pembedaan penduduk atau warga secara bertingkat ( vertikal )
Senin, 01 Oktober 2012
TOKOH TOKOH SOSIOLOGI
TOKOH TOKOH SOSIOLOGI
1. Auguste Comte : Sosiologi Positivis dari Prancis (1798-1857)
2. Emile Durkheim : Sosiologi Struktural dari Prancis (1859-1917)
3. Karl Marx: Sosiologi Marxis dari Jerman (1818-1883)
4. Herbert Spencer : Sosiologi Evolusioner dari Inggris (1820-1903)
5. Max Weber : Sosiologi Weber dari Jerman (1864-1920)
6. Georg Simmel : Filsafat Uang dari Jerman (1858-1919)
7. Ferdinand Tonnies : Klasifikasi Sosial dari Jerman (1855-1936)
8. Herbert Marcuse : One Dimensional Man dari Jerman (1898-1979)
9. Jurgen Habermas : Komunikasi Rasional dari Jerman, 1929
10. Antonio Gramsci: Hegemoni dari Italia (1891-1937)
11. Charles Horton Cooley (1846-1929)
12. George Herbert Mead (1863-1931)
13. Ibnu Kholdun : Bapak Sosiologi Islam dari Tunisia pada 1 Ramadan 732 H./27 Mei 1332 M – Kairo 25 Ramadan 808 H./19 Maret 1406 M
Tugas Analitika (Tugas 3)
Gambar diatas menunjukan sekelompok anak sedang bermain gangsing di perumahan Taman Sarua, Bojong Sari Depok
Menurut sosiologi kelompok diatas di sebut gemeinschaft of mind
Sumber : Kompas edisi 2 September 2012 Hal 32
Langganan:
Postingan (Atom)